Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) memandang bahwa prospek pertumbuhan ekonomi global pada 2025 dibayangi oleh pemberlakuan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) kepada sejumlah negara, sehingga diprakirakan tumbuh lebih rendah dari proyeksi semula yang sebesar 3 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa sejak 7 Agustus 2025, tarif resiprokal AS meluas dari 44 negara menjadi 70 negara, dengan tarif kepada sebagian negara seperti India dan Swiss lebih tinggi dari pengumuman semula.
“Secara keseluruhan, dampak dari (jalur) perdagangan, menurunnya volume perdagangan dan ada beberapa aspek mengenai transhipment, bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia oleh Bank Indonesia akan berpotensi lebih rendah dari prakiraan,” kata Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan Agustus 2025 secara daring di Jakarta, Rabu.
Bank Indonesia menilai pengenaan tarif resiprokal akan menurunkan kinerja ekspor dan volume perdagangan antar negara, termasuk terkait dengan isu transhipment, sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi AS dan menekan potensi pertumbuhan ekonomi global lebih rendah dari prakiraan.
Penerapan kebijakan tarif resiprokal juga diprakirakan masih akan mengalami dinamika, meskipun tingkat tarif secara keseluruhan lebih rendah dibanding pengumuman awal pada 2 April 2025.
Ketidakpastian mengenai dampak ke depan tetap tinggi dan sulit diprediksi, sehingga negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, perlu untuk terus memantau perkembangan ini.
Perry menambahkan, bank sentral Indonesia juga memprakirakan ekonomi dunia yang tumbuh lebih rendah akan terjadi pada 2026 dengan adanya kebijakan tarif resiprokal AS, meski dampaknya ke setiap negara bisa berbeda-beda.
“Untuk Tiongkok, Eropa, dan Jepang, dampak pertumbuhan ekonominya kemungkinan juga lebih rendah dari prakiraan,” ujar dia.
BI memandang bahwa penurunan permintaan akibat tarif AS mulai menekan inflasi global, termasuk di AS, lebih cepat daripada pengaruh keterbatasan pasokan (supply constraint).
Kondisi ini membuat bank sentral di berbagai negara cenderung menerapkan kebijakan moneter akomodatif, termasuk Fed Funds Rate (FFR) yang diprakirakan turun dua kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) pada semester kedua 2025.
“Tapi tentu saja, dalam jangka pendek karena ketidakpastian, kebijakan tarif itu masih dinamis, masih akan terus bergerak. Inilah yang membawa suatu ketidakpastian pasar keuangan global jangka pendek yang perlu harus tetap kita waspadai dan perlu kita respon, terutama di Indonesia,” kata Perry.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI Aida S. Budiman menambahkan bahwa Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2025 dari 2,1 persen menjadi 2 persen.
Sementara ekonomi Eropa diprakirakan naik dari 0,9 persen ke 1 persen, Jepang dari 0,8 persen ke 1 persen, dan Tiongkok ke 4,6 persen. Adapun ekonomi India diproyeksikan turun dari 6,6 persen ke 6,5 persen karena kenaikan tarif lebih tinggi.
“Semuanya ini mengakibatkan Bank Indonesia melihat pertumbuhan ekonominya berpotensi untuk lebih rendah daripada asesmen kami di global yang sekarang di 3 persen. Mengapa? Karena masih ada risiko transhipment yang bisa menambah pengenaan tarif. Kemudian negosiasi yang masih berlangsung. Semuanya ini tentunya mengakibatkan secara potensial risk dari skenario-nya bisa lebih rendah daripada 3 persen,” tutup Aida.
Baca juga: Rupiah melemah dipengaruhi keputusan BI pangkas suku bunga acuan
Baca juga: IHSG ditutup menguat seiring pasar respon positif penurunan bunga BI
Baca juga: BI proyeksi nilai tukar rupiah bakal tunjukkan tren penguatan
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.