
GURU Besar Nanyang Technological University Singapura Ang Peng Hwa menyebutkan tiga dampak negatif Generative Artificial Intelegence yang harus diwaspadai.
"Pertama, AI menggerus keberagaman. Kedua, manusia cenderung menjadi AI sebagai kawan dalam kehidupan pribadi. Ketiga, AI membuat manusia malas berpikir kritis,'' terang Ang Peng Hwa dalam kuliah umumnya pada Information Resilience and Integrity Simposium (IRIS).
Simposium yang betema "Generative AI and Information Resilience in the Asia Pacific: Actions and Adaptations" diselenggarakan Safer Internat Lab Center for Strategic and Internatinal Studies (CSIS) di FISIP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis, 21 Agustus 2025.
Profesor Ang menjelaskan AI menggerus keberagaman karena algoritkanya menuntun atau menghasilkan sesuatu yang seragam. Ang memaparkan foto desain interior apartemen di Singapura yang cenderung senada. Dia juga memampangkan foto hasil kerja AI yamg cenderung melahirkan postur wajah, warna kulit, dan rambut senada.
Ang Peng Hwa melanjutkan penggunaan AI sebagai teman dan sarana terapi menduduki posisi pertama dalam satu survei tahun 2025. Dampak negatif penggunaan AI untuk terapi ialah AI cenderung mengafirmasi atau menguatkan, sedangkan orang yang membutuhkan bantuan perlu ditantang atau dikritisi.
Profesor Ang menambahkan AI menggerus kemampuan berpikir kritis karena berapa hal. Pertama, manusia jadi lebih suka meminta bantua AI untuk berpikir untuk analisis atau menulis. Kedua, manusia cenderung menggantungkan diri dan percaya begitu saja pada AI sehingga mengurangi skeptisisme dan verifikasi manusia. Ketiga, AI mengandung bias algoritma, cenderung "memaksakan" preferensinya dan mengurangi keberagaman.
Sebagai solusi, Profesor Ang merekomendasi pendekatan multi-pemangku kepentingan (multistakeholder approach), antara perusahaan, bisnis, pemerintah, masyarakat sipil termasuk kelompok agama dan akademisi, sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (H-2)