INFO NASIONAL — Laki-laki sering digambarkan sebagai sosok yang kuat, tabah, dan jarang mengungkapkan perasaan. Namun, di balik diamnya seorang ayah, tersimpan begitu banyak rasa—cinta, harapan, kegelisahan, bahkan kelemahan.
Seringkali, tuntutan sosial dan standar maskulinitas menekan mereka untuk selalu tampak tegar, sehingga banyak ayah memilih memendam perasaan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Tekanan itu semakin diperkuat oleh budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, pelindung keluarga, sekaligus sosok yang seolah tidak boleh rapuh.
Akibatnya, tidak sedikit ayah yang terjebak pada citra “dingin” dalam pengasuhan, meski sesungguhnya mereka juga ingin hadir lebih dekat dengan anak-anak. Stigma seperti “bapak rumah tangga” atau sebutan “fatherless” pun kerap muncul, menambah beban tersendiri bagi kaum pria dalam menjalani perannya.
Namun, zaman terus berubah. Kini semakin banyak keluarga yang mulai menyadari pentingnya peran seimbang antara suami dan istri. Hal itu tercermin dalam kegiatan Implementasi Sekolah Bersama Ayah (Sebaya) melalui Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang digagas oleh Kemendukbangga/BKKBN.
Kegiatan pertemuan para ayah dengan anak-anak mereka dalam satu ruang kelas, berlangsung di SMAN 1 Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Sabtu, 23 Agustus 2025. Sebuah momen yang membuka ruang bagi ayah untuk mengekspresikan kasih sayang yang selama ini terpendam.
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk, Bonivasius Prasetya Ichtiarto, menjelaskan bahwa GATI bukan sekadar program, melainkan gerakan untuk menghadirkan kembali ayah sebagai sosok pengayom, pelindung, sekaligus teladan bagi keluarga.
“Berbicara tentang pengasuhan anak, bukan berarti pria tidak mau terlibat. Kami juga punya rasa dan keinginan untuk aktif memberikan kasih sayang, bukan sebatas kewajiban menafkahi,” ujar salah satu orang tua murid yang hadir.
Dalam sesi pertemuan, suasana haru menyelimuti ketika anak-anak diminta mengungkapkan perasaan mereka secara langsung kepada sang ayah. Banyak yang awalnya canggung, bahkan kesulitan untuk sekadar berkata, “Aku sayang Ayah.” Namun, air mata dan pelukan yang tercipta saat itu menjadi bukti bahwa kasih sayang seorang ayah selalu ada, meski sering terbungkus dalam diam.
Ayah, bapak, papa, atau abah—apapun panggilannya—adalah sosok yang memikul tanggung jawab besar, kadang tanpa kata-kata, namun penuh dengan cinta. Lewat gerakan seperti GATI, diharapkan semakin banyak ayah yang berani hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga dengan rasa. Karena pada akhirnya, seorang ayah tetaplah teladan yang cintanya akan selalu hidup di hati anak-anaknya.(*)