
POLISI Brasil mengungkap melalui dokumen pengadilan bahwa mereka menemukan sebuah catatan di ponsel mantan presiden Jair Bolsonaro. Dokumen tersebut menunjukkan adanya rencana pelarian ke Argentina menjelang persidangannya terkait dugaan percobaan kudeta militer.
Bolsonaro, tokoh populis sayap kanan, menghadapi hukuman penjara lebih dari 40 tahun. Bulan depan Mahkamah Agung Brasil akan menjatuhkan putusan, bulan depan, atas konspirasi menggulingkan hasil pemilihan presiden 2022, yang dimenangkan lawan politiknya, Luiz Inácio Lula da Silva.
Mantan presiden menolak tuduhan tersebut. Tetapi beberapa pakar hukum dan politik menilai bukti yang ada cukup kuat sehingga kemungkinan besar ia akan dijatuhi hukuman berat.
Rabu lalu, penyidik polisi federal menyerahkan laporan 170 halaman kepada Mahkamah Agung. Dalam laporan tersebut, polisi menyebut menemukan dokumen di ponsel Bolsonaro pada Februari 2024, dua hari setelah paspornya disita terkait penyelidikan kudeta. Dokumen itu diduga berisi rencana Bolsonaro untuk meminta suaka politik di Argentina, yang saat ini dipimpin oleh sekutu politiknya, Javier Milei.
Permohonan Suaka
Dalam draf permohonan suaka itu, Bolsonaro digambarkan sebagai “orang yang mengalami penganiayaan politik” dan menyatakan ia “dikejar secara tidak adil, ilegal, sewenang-wenang, dan bertentangan dengan konstitusi”. Surat tersebut ditujukan kepada “Yang Mulia Presiden Argentina, Javier Gerardo Milei” dan tidak memiliki tanggal maupun tanda tangan. Sumber pemerintah Argentina menyatakan kepada Reuters bahwa kantor Milei tidak pernah menerima surat tersebut.
Bolsonaro, yang menjabat presiden Brasil dari 2019 hingga akhir 2022, menyatakan ia berniat kembali mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun depan, meski Mahkamah Agung sudah melarangnya karena menyebarkan disinformasi. Saat ini, ia menjalani tahanan rumah di Brasília setelah terbukti melanggar larangan penggunaan media sosial yang dikeluarkan pengadilan.
Dalam laporan kepada Mahkamah Agung, polisi federal menuduh dokumen tersebut menunjukkan Bolsonaro berencana “melarikan diri dari negara untuk menghindari penegakan hukum”.
Eduardo Bolsonaro
Kasus ini semakin panas karena polisi federal juga menuduh Bolsonaro dan putranya, Eduardo Bolsonaro, mencoba campur tangan dalam persidangan dengan mendorong pejabat AS memberi tekanan pada Mahkamah Agung. Persidangan dijadwalkan berlangsung pada 2–12 September.
Eduardo Bolsonaro pindah ke AS pada Februari dan beberapa bulan terakhir aktif melobi pemerintahan Donald Trump untuk menekan hakim Mahkamah Agung Brasil dan pemerintah Lula terkait persidangan ayahnya. Pada Juli lalu, Trump memberlakukan tarif 50% atas impor Brasil sebagai balasan atas apa yang ia sebut “perburuan penyihir” terhadap Bolsonaro dan mengumumkan sanksi terhadap Alexandre de Moraes, hakim yang memimpin persidangan Bolsonaro.
Delapan dari 11 hakim Mahkamah Agung Brasil, termasuk Moraes, dicabut visa AS-nya, begitu pula istri dan putri berusia 10 tahun dari menteri kesehatan Alexandre Padilha, salah satu sekutu dekat Lula. Trump menyebut tindakan ini sebagai “eksekusi politik terhadap Bolsonaro” dan mengkritiknya sebagai hal yang buruk.
Silas Malafaia
Selain itu, Silas Malafaia, pastor evangelis kaya dan pendukung vokal Bolsonaro, diperiksa polisi setelah kembali dari Portugal. Ia kini dilarang meninggalkan Brasil, berkomunikasi dengan Bolsonaro dan Eduardo, dan harus menyerahkan paspornya karena dicurigai mencoba mempengaruhi persidangan Bolsonaro.
Laporan polisi juga mengungkap pertengkaran internal di antara keluarga Bolsonaro dan pendukungnya. Dalam salah satu pesan WhatsApp di ponsel Bolsonaro, Eduardo menanggapi kritik ayahnya dengan kata-kata kasar. Dalam pesan lain, Malafaia menyerang Eduardo karena merayakan tarif impor AS yang diterapkan Trump.
Eduardo menuding polisi “membocorkan percakapan pribadi yang normal” dan menyebut tindakan itu “memalukan” dan bermotif politik.
Sementara itu, jajak pendapat menunjukkan popularitas Lula meningkat setelah tekanan Trump, dengan lebih dari 70% warga Brasil menentang tindakan Presiden AS tersebut. (The Guardian/Z-2)