PRESIDEN Prabowo Subianto menyampaikan dua kali pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 15 Agustus 2025. Pidato Prabowo pertama mengenai penyampaian kinerja pemerintah. Setelah itu, pidato kedua disampaikan sebagai pengantar rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2026.
Prabowo menyampaikan beberapa poin. Salah satunya adalah klaim keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah dilaksanakan sejak Januari 2025. Dia mengklaim MBG telah menciptakan ratusan ribu lapangan kerja baru.
Kepala Negara juga telah menerima laporan dari Badan Gizi Nasional bahwa per hari ini sudah ada 5.800 dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 38 provinsi. “MBG telah menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru di dapur-dapur,” ujar Prabowo.
Presiden juga memperingatkan para jenderal maupun mantan jenderal yang menjadi beking pengusaha tambang ilegal. Prabowo tidak ragu menindak jenderal baik dari TNI atau Polri bila menjadi beking pengusaha tambang ilegal. “Tidak ada alasan. Kami akan bertindak atas nama rakyat,” kata Prabowo.
Ketua Umum Partai Gerindra ini juga mengklaim berhasil menyelamatkan Rp 300 triliun uang APBN yang rawan diselewengkan. Dia mengatakan penyelewengan APBN rawan terjadi pada perjalanan dinas luar dan dalam negeri, anggaran pengadaan pengadaan alat tulis kantor (ATK), serta berbagai mata anggaran yang selama ini menjadi sumber korupsi dan bancakan.
Pidato Prabowo di Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD tersebut mendapat sorotan dari berbagai kalangan.
ICW: Bertolak Belakang dengan Kenyataan
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pidato Prabowo yang menyinggung soal komitmen memberantas korupsi. Prabowo mengklaim komitmen pemerintahannya dalam memberantas mafia sumber daya alam dan korupsi. Dia juga menjanjikan penegakan hukum yang tidak pandang bulu terhadap pejabat korup. Prabowo menuturkan akan menyelamatkan rakyat, membela kepentingan rakyat, dan memastikan rakyat tidak menjadi korban serakahnomics.
Koordinator Divisi Edukasi Publik ICW Nisa Zonzoa menyebutkan isi pidato Prabowo justru bertolak belakang dengan situasi nyata. “Hingga hari ini, koruptor masih menguasai negara, masyarakat kian terpinggirkan, kebijakan semakin tak berpihak pada rakyat, dan penegakan hukum dipertaruhkan demi kepentingan elite politik yang akhirnya menggerus nilai keadilan,” kata Nisa dalam siaran pers pada Ahad, 17 Agustus 2025.
ICW menyoroti langkah pemerintah yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Salah satunya pemberian abolisi dan amnesti kepada terdakwa korupsi Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong pada 31 Juli lalu.
“Pemberian amnesti dan abolisi sebelum proses hukum inkrah dapat dilihat sebagai intervensi politik yang berbahaya dalam penegakan hukum antikorupsi dan menimbulkan kesan sewenang-wenang,” kata Staf Divisi Edukasi Publik ICW, Eva Nurcahyani.
ICW juga mencatat vonis pengadilan terhadap koruptor selama sembilan tahun terakhir rata-rata hanya 3 tahun 7 bulan. Dari 2015 hingga 2023, ada 682 terdakwa yang divonis bebas atau lepas, dengan total kerugian negara mencapai Rp 92 triliun.
“Mandeknya pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi sinyal kuat pemerintah juga tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” tulis ICW.
Amnesty: Tidak Sejalan dengan Kondisi HAM
Amnesty International Indonesia menilai pidato Prabowo dalam Sidang Tahunan MPR 2025 tidak sejalan dengan kondisi hak asasi manusia (HAM) di lapangan. “Situasinya bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Prabowo,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid saat dihubungi pada Sabtu, 16 Agustus 2025.
Usman menuturkan konflik agraria di sektor perkebunan sawit dan tambang hingga kini belum terselesaikan. Pemerintah, kata dia, justru menambah masalah dengan kebijakan Kementerian ATR/BPN dan kenaikan pajak oleh pemerintah daerah. “Belakangan ini banyak muncul represi (konflik agraria) di berbagai daerah,” ujarnya.
Dia juga khawatir dengan risiko pelanggaran HAM baru jika pemberantasan mafia sumber daya alam tidak dijalankan secara independen. Usman, dalam upaya ini, mendorong KPK dan Kejaksaan Agung mengambil peran, tapi dengan catatan. “Asalkan jangan tebang pilih. Harus lebih imparsial,” katanya.
Usman mengingatkan janji pemberantasan korupsi yang disampaikan Prabowo tidak cukup hanya dengan retorika politik. “Kalau sudah berkuasa maka harusnya memerintah dengan cara yang lebih konkret,” ujarnya. Ia menekankan perlunya reformasi kelembagaan, termasuk pada militer dan kepolisian.
Sebagai prioritas, Amnesty mendesak pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu serta membebaskan korban jeratan Undang-Undang ITE. Dia mengatakan, lebih dari 900 orang dijerat pasal-pasal karet dari UU ITE dan KUHP selama hampir sewindu terakhir.
YLBHI: Tidak Menyinggung HAM dan Kebebasan Berekspresi
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyoroti pidato Prabowo sama sekali tidak menyinggung HAM. “Tidak ada satu kata pun diucapkan selama satu jam itu tentang hak asasi manusia,” kata Isnur di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu.
Dia menuturkan pidato Prabowo juga sama sekali tidak menyinggung soal kebebasan berekspresi bagi warga Indonesia. Isnur menyoroti Prabowo dalam pidatonya justru menyatakan geopolitik yang semakin tidak menentu membuat Indonesia harus punya pertahanan yang kuat. Prabowo juga menekankan kerja sama TNI dan Polri untuk memastikan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Isnur menerjemahkan ini sebagai langkah Prabowo menggenjot pertumbuhan dengan pendekatan militeristik atau pendekatan berbasis kekuatan keamanan. “Tapi di sisi lain, tidak diberikan jaminan kebebasan berekspresi, berpendapat, maupun pemenuhan hak asasi manusia,” kata Isnur.
JPPI: Data Pendidikan dalam Pidato Prabowo Overclaim
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengapresiasi upaya Prabowo memajukan sektor pendidikan. Namun mereka menilai banyak klaim keberhasilan yang disampaikan Presiden dalam pidato terbarunya tidak sejalan dengan fakta di lapangan.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menyebutkan pidato Presiden sarat overclaim dan mengabaikan data resmi. Salah satu klaim yang disorot adalah pernyataan bahwa rakyat kecil kini tidak lagi takut anaknya putus sekolah. Menurut JPPI, data Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah per Agustus 2025 justru menunjukkan jumlah anak tidak sekolah (ATS) meningkat menjadi 3,9 juta, naik 400 ribu anak dibanding Desember 2024.
“Kehadiran sekolah rakyat belum mampu membendung meningkatnya ATS, yang mayoritas karena persoalan biaya,” kata Ubaid dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 15 Agustus 2025.
JPPI juga mengkritik Kepala Negara yang tidak menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi tentang sekolah gratis bagi semua anak di maktab negeri maupun swasta. Menurut Ubaid, putusan itu adalah solusi konkret untuk mengatasi mahalnya biaya sekolah, tetapi tidak menjadi prioritas Presiden.
Mengenai program 100 sekolah rakyat, JPPI menilai klaim keberhasilannya terlalu berlebihan. Dari total 2,9 juta ATS akibat kemiskinan dan pekerja anak, sekolah rakyat hanya menampung sekitar 10 ribu murid, atau 0,33 persen dari kebutuhan.
Program MBG juga tak luput dari kritik. Ubaid menyebutkan klaim MBG meningkatkan prestasi belajar anak dalam delapan bulan adalah “tidak masuk akal” karena tidak ada data pendukung yang jelas.
Dia juga mempertanyakan optimalisasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. JPPI menilai anggaran masih bocor untuk pembiayaan sekolah kedinasan dan program MBG, yang seharusnya tidak masuk prioritas sesuai UU Sisdiknas. “Apakah ini optimalisasi atau politisasi anggaran pendidikan?”
JPPI juga mengkritik keberadaan sekolah garuda yang dinilai diskriminatif dan berpotensi menciptakan segregasi pendidikan, mengingat kemiripannya dengan Sekolah Bertaraf Internasional yang pernah dibubarkan MK pada 2013.
JPPI mendesak Presiden Prabowo mengevaluasi kebijakan, mengacu pada UUD 1945 Pasal 31, dan mengambil langkah nyata mengatasi masalah mendasar pendidikan di Indonesia.
Intan Setiawanty, Hendrik Yaputra, Nabiila Azzahra, Ervana Trikarinaputri, Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Efisiensi Anggaran Disebut Picu Daerah Naikkan PBB, Apa Kata Mendagri dan Istana?