AMNESTY International Indonesia mengatakan maraknya pejabat dengan latar belakang militer di era pemerintahan Prabowo Subianto menimbulkan kesan bahwa sang Presiden tidak mempercayai kapasitas sipil dalam mengelola pemerintahan.
Juru bicara Amnesty International Indonesia Haeril Halim berpendapat bahwa Prabowo lebih percaya apabila anggota TNI aktif maupun purnawirawan diberikan amanah mengerjakan persoalan-persoalan sipil. “Mungkin ada image bahwa militer itu tegas, disiplin, jadi bisa menjadi solusi terhadap permasalahan di sektor-sektor sipil,” kata Haeril melalui sambungan telepon pada Ahad, 17 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Haeril mengatakan kesan itu tidak tepat. Sebab sejak 1998, pemerintah sebetulnya sedang membangun upaya reformasi birokrasi sipil. Menurut dia, birokrasi sipil itulah yang mestinya lebih diperbaiki. “Bukan malah memasukkan aktor-aktor militer, baik yang aktif maupun purnawirawan ke dalam posisi-posisi sipil,” ujar Haeril.
Sejumlah individu berlatar belakang militer menduduki posisi strategis di masa Presiden Prabowo Subianto. Pada awal Juli 2025, Mayor Jenderal TNI Ahmad Rizal Ramdhani ditunjuk untuk mengisi jabatan Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog, sebuah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang pangan. Ahmad Rizal menggantikan Letnan Jenderal Novi Helmy Prasetya yang pada 7 Februari 2025 diangkat menjadi direktur utama, namun ditarik kembali untuk bertugas di militer.
Di kabinet inti Prabowo, ada Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya. Dia adalah perwira militer aktif yang menjabat Sekretaris Kabinet. Sementara sejumlah purnawirawan TNI juga mewarnai Kabinet Merah Putih. Beberapa di antaranya Jenderal TNI (Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin yang menjabat Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal (Purn.) Friedrich Lodewijk Paulus sebagai Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, hingga Mayor Jenderal (Purn.) Lodewyk Pusung yang kini menempati jabatan Wakil Kepala Badan Gizi Nasional.
Tak hanya menempati posisi politik di Kabinet, figur militer juga menduduki jabatan eselon I di instansi pemerintahan. Di Badan Gizi Nasional misalnya, Brigadir Jenderal (Purn.) Jimmy Alexander Adirman didapuk menjadi Inspektur Utama dan Brigadir Jenderal (Purn.) Sarwono ditunjuk sebagai Sekretaris Utama. Sementara di Kementerian Keuangan, ada Letnan Jenderal (Purn.) Djaka Budi Utama yang diangkat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada Mei 2025.
Haeril mengatakan penempatan individu berlatar belakang militer di jabatan struktural instansi pemerintahan itu mengacaukan sistem meritokrasi. Ia menjelaskan, birokrat sipil memiliki hak untuk berkompetisi secara adil atau the right to fair competition. Aparatur sipil negara, menurut dia, memiliki aspirasi dalam jenjang kariernya.
Mereka menjalani pendidikan dan pelatihan administratif dengan tujuan untuk mencapai posisi-posisi struktural. “Orang-orang tentu sudah berkarier dari nol di suatu lembaga dan menyiapkan diri melalui channel-channel yang memang sudah disediakan,” kata Haeril.
Namun aspirasi mereka itu bisa saja kandas lantaran ada pengisian jabatan struktural oleh militer. Haeril menyoroti bahwa penunjukan anggota militer maupun purnawirawan di sektor-sektor sipil tidak memiliki kriteria yang jelas. Publik, dia melanjutkan, tidak melihat ada rasionalisasi atas pengangkatan individu berlatar militer di jabatan sipil.
Tempo melakukan upaya konfirmasi sekaligus permintaan penjelasan ke Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi dan juga Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi. Namun hingga berita ini ditulis, Hasan dan Kristomei belum memberikan respons.